KATA PENGANTAR
Puji
syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang mana atas berkah dan karunia-Nya,
penulis dapat menyelesaikan makalah ilmiah tentang “Preservasi Daging” ini
sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
Makalah
ilmiah ini telah penulis susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu
kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Penulis
menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dalam penyusunannya
ataupun pemilihan tata bahasanya. Oleh karena itu penulis mengaharapkan segala
saran dan kritik yang membangun dari pembaca agar penulis dapat lebih baik dalam penyusunan makalah
selanjutnya. Penulis berharap semoga makalah tentang “Preservasi Daging”ini dapat
memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR………………………………………………………
i
DAFTAR ISI………………………………………………………………...
ii
I.PENDAHULUAN…………………………………………………………
1
1.1 Latar Belakang……………………………………………………….
1
1.2 Tujuan…………………………………………………………………
2
II.
ISI……………..…………………………………………………………. 3
III.
PENUTUP……………………..………………………………………….
9
DAFTAR PUSTAKA
I.PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Daging segar adalah otot
skeletal (kerangka) karkas ternak yang belum diolah dan atau tidak ditambah
dengan bahan apapun (SNI 3932, 2008). Penyediaan daging harus didahului dengan
penyembelihan secara normatif yang berasal dari sapi, kerbau, kambing, domba,
babi, unggas dan hewan lainnya (BINTORO, 2008). Daging yang dapat dikonsumsi
umumnya berasal dari ternak yang sehat, saat penyembelihan dan pemasaran
diawasi oleh petugas rumah potong hewan (RPH) serta terbebas dari pencemaran
bakteri (USMIATI, 2010).
Daging (khususnya daging sapi)
di Indonesia umumnya diproduksi oleh RPH, dan kemungkinannya mempunyai potensi
untuk tercemar bakteri, sesaat setelah dipotong, dipasarkan, bahkan sampai di
konsumen. Daging yang tercemar bakteri mudah mengalami kerusakan, karena
mengandung nutrien yang dibutuhkan untuk pertumbuhan bakteri (GUSTIANI, 2009).
Berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional
(BSN) persyaratan mikrobiologis (bakteri) dalam daging sapi yang beredar di
Indonesia adalah total plate count (TPC) 106 CFU/g, bakteri coliform 102
CFU/g, bakteri Staphylococcus aureus 102 CFU/g, bakteri Salmonella
sp., negatif per 25 g dan bakteri Escherichia coli 10 CFU/g (SNI 3932,
2008). Apabila kandungan bakteri dalam daging melebihi standar yang telah
ditentukan, maka daging tersebut dianggap tidak layak sebagai bahan pangan,
karena kemungkinan menjadi mudah rusak. Kemungkinan pula dapat menimbulkan penyakit,
apabila daging yang mengandung bakteri patogen diolah kurang sempurna dan
selanjutnya dikonsumsi.
Salah satu penanganan setelah pemotongan ternak adalah penyimpanan suhu dingin.
Dikatakan pula bahwa suhu dan lama penyimpanan mempengaruhi kualitas daging. Dewasa
ini, untuk menghemat waktu, biaya, dan tenaga para ibu rumah tangga tidak lagi
berbelanja rutin dengan frekuensi setiap hari. Hal ini menyebabkan, saat
membeli daging terkadang mereka menyimpannya dan tidak segera mengolahnya. Menyimpan
daging agar tahan lama tentu menjadi kebutuhan rumah tangga. Oleh karena itu
untuk memperpanjang lama penyimpanan daging diperlukan suatu usaha pengawetan. Tujuan
pengawetan adalah menghambat atau membatasi reaksi-reaksi enzimatis, kimiawi,
dan kerusakan fisik dari daging (Soeparno, 2009).
1.2 Tujuan
Adapun
tujuan dari makalah ilmiah ini yaitu untuk
1. Mengetahui
bagaiamana cara pengawetan daging dengan berbagai macam pengawetan daging.
II. PEMBAHASAN
Preservasi
berarti menghambat atau membatasi reaksi-reaksi enzimatis, kemis, dan kerusakan
fisik daging dan daging proses. Metode yang banyak digunakan untuk
memperpanjang masa simpan daging dan daging proses adalah dengan pendinginan
atau yang lazim disebut refrigerasi pada temperatur antara −2oC sampai 5oC. Di
samping itu daging dan daging proses dapat diawetkan dengan proses pembekuan,
proses termal (pemanasan) dan dehidrasi (pengeringan). Preservasi daging juga
dilakukan dengan cara iradiasi, pengepakan, dan perlakuan kimiawi, misalnya
dengan cara curing dan pengasaman (Soeparno, 1994).
Preservasi
bertujuan, antara lain untuk mengamankan daging dan produk daging proses dari
kerusakan atau pembusukan oleh mikroorganisme dan untuk memperpanjang masa
simpannya. Preservasi berarti menghambat atau membatasi reaksi-reaksi
enzimatis, kimiawi dan kerusakan fisik daging dan daging proses. Salah satu
tindakan preservasi yang biasa dilakukan adalah pembekuan (Soeparno, 1994)
Beberapa teknik pengawetan yang sering digunakan dan
diharapkan akan meningkatkan mutu dalam keempukan dan citarasa :
1.
Penggunaan suhu rendah
Dinegara-negara industri, hampir semua bahan makanan
asal hewan seperti daging dan ikan disimpan dengan menggunakan teknik suhu
rendah yakni pendinginan dan pembekuan. Penggunaan teknik pendinginan dimana
suhu sedikit diatas 0°C,
memungkinkan bahan makanan dapat disimpan selama beberapa hari sampai beberapa
minggu tergantung jenis makanan, suhu dan teknik penyimpanan. Pada teknik
pembekuan dimana suhu dibawah 0°C, umumnya
sekitar – 18°C, bahan
makanan/daging dapat disimpan selama beberapa bulan, malahan daging dapat
disimpan sampai beberapa tahun pada suhu – 30°C.
Dinegara-negara yang teknologinya masih rendah seperti
di Indonesia dan khususnya ditingkat pedesaan dimana pemakaian suhu rendah
masih menjadi kendala maka penggunaan teknologi sederhana dengan memanfaatkan
sumberdaya alam yang tersedia merupakan pilihan utama dalam penyimpanan bahan
makanan asal ternak tersebut.
1.1.
Pendinginan (refrigeration)
Pendinginan memungkinkan untuk menyimpan daging dalam
waktu tertentu berkat aksinya dalam menghambat perkembangan bakteri tanpa
membunuh bakteri. Oleh karena itu sangat penting diperhatikan bahwa suhu dingin
sebaiknya secepat mungkin dioperasikan setelah ternak dipotong dan agar
daging/karkas sekurang mungkin dicemari/terkontaminasi oleh bakteri selama proses
pemotongan. Ini
dimaksudkan untuk mendapatkan daging dengan kualitas higienis yang baik.
Pendinginan
dimaksudkan pula untuk meningkatkan kualitas daging terutama keempukan dan
citarasa yang terjadi selama proses penyimpanan karena adanya maturasi pada
daging.
Seperti
pula diketahui bahwa suhu karkas berkisar 35 – 37° C pada akhir proses pemotongan maka
peranan pendinginan cukup penting didalam menurunkan suhu karkas tersebut agar
dapat disimpan pada suhu sekitar 0 - +2° C. Pendinginan karkas dengan
menggunakan suhu mendekati titik nol (0 – 5° C) pada suhu karkas masih tinggi ,
dimana pada saat itu karkas masih dalam kondisi pra rigor, dapat mengakibatkan
kelainan mutu daging yang dikenal dengan nama cold shortening atau pengkerutan
karena dingin. Pengkerutan akibat dingin menyebabkan otot memendek bisa
mencapai 50 % dan daging menjadi keras dan kehilangan cukup cairan yang berarti
selama pemasakan.
Pada
tahap pertama, karkas didinginkan pada suhu dimana persentase pengkerutan
paling minimal, berdasarkan penelitian Locker dan Hagyard (1963) untuk
memperoleh pengekerutan minimal sebaiknya daging didinginkan pada suhu antara
14 – 19°
C selama 24 jam pertama dimana pada saat tersebut rigor mortis telah terbentuk.
Kecepatan terbentuknya rigor mortis sangat tergantung pada suhu dan kondisi
ternak pada saat disembelih. Locker dan Daines (1975) memperlihatkan waktu yang
dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis pada otot Sternomandibularis pada
suhu 37°
C, 34°
C, 24°
C, dan 15°
C, masing-masing secara berurutan 7 jam, 10 jam, 12 jam, dan 24 jam.
Rigor mortis dapat pula terbentuk dalam waktu yang cepat pada ternak-ternak
yang telah kekurangan atau kehabisan glikogen akibat habis terkuras karena
perlakuan-perlakuan yang keras sebelum pemotongan dilakukan.
Cold
shortening yang terjadi karena pendinginan yang cepat dengan suhu sangat rendah
pada karkas terutama pada potongan-potongan karkas dan daging mengakibatkan
kealotan yang berarti.
Karkas
yang telah mengalami rigor mortis, kemudian disimpan pada kamar pendingin (+ 2° C) selama beberapa hari.
Selama penyimpanan ini terjadi maturasi yakni proses transformasi kimia didalam
otot dan memperlihatkan efek terhadap perbaikan keempukan daging secara
progresif sampai tingkat optimal. Keadaan dimana daging menjadi matang, pada
tingkat inilah daging sebaiknya dikonsumsi.
Untuk
memperoleh tingkat maturasi yang baik, pada umumnya karkas sapi disimpan antara
10 – 15 hari pada suhu + 2° C sebelum daging tersebut di
konsumsi. Untuk praktisnya, maturasi biasanya berlangsung selama 7 – 8 hari
dengan alas an ekonomi. Hal mana tidaklah cukup dari segi teknisnya.
Gambar 2, memperlihatkan evolusi keempukan daging berdasarkan lama penyimpanan
pada suhu mendekati 2 C°.
1.2. Pembekuan (Freezing)
Pembekuan
merupakan tahap selanjutnya dari penyimpanan daging setelah karkas melalui
proses maturasi (aging) yang optimal dimana proses komplet rigor mortis telah
terpenuhi. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah timbulnya cold shortening dan
thaw rigor pada saat daging dicairkan dari kristal es yang meliputinya sebelum
dimasak.
Untuk
pengawetan daging dengan menggunakan suhu sangat rendah, maka potongan –
potongan karkas terlebih dahulu harus dikeluarkan tulang-tulangnya dan
menghilangkan lemak dipermukaan karkas/daging, sehingga benar-benar daging yang
dibekukan. Ini dimaksudkan selain untuk efisiensi tempat, juga dimaksudkan
untuk menghindari peruabahan – perubahan yang dapat terjadi pada daging selama
penyimpanan terutama lemak, pada suhu rendah masih dapat mengalami proses
ketengikan.
Untuk
mendapatkan hasil/kualitas yang baik selama pembekuan maka perlu diperhatikan
hal-hal berikut :
-
Penggunaan suhu pembekuan cepat (- 36° C) atau sangat cepat (- 40° C) pada karkas atau daging yang
telah mengalami maturasi.
-
Menyimpan daging beku pada suhu rendah (-18° C).
- Menghindari variasi suhu selama penyimpanan.
- Menghindari pembekuan atau thawing secara
berturut-turut.
-
Thawing dilakukan secara lambat pada suhu + 1° C.
·
Preservasi
Kimia
Bahan
kimia yang dipergunakan untuk preservasi daging mempumyai sifat antara lain :
1.
Menghambat atau
mencegah perubahan kualitas daging selama penyimpanan
terbatas
2. Memperpanjang masa simpan
3. Sebagai bahan pengawet
4. Menambah nilai gizi, aroma dan rasa
5. Sebagai pewarna
6. Pengatur kelembaban
7. Pengatur pH
Suatu
preservatif untuk memperpanjang masa simpan daging harus memenuhi criteria
sebagai berikut :
1. Tidak mengubah flavor, bau atau warna dan
tekstur bahan makanan
2. Aman bagi konsumen pada konsentrasi efektif
sebagai preservatif atau aman
untuk dikonsumsi selama masa simpan tertentu
untuk dikonsumsi selama masa simpan tertentu
3.
Preservatif harus mudah dikenal dan kadarnya dapat dideteksi secara
pasti, serta harus memenuhi kebutuhan yang diizinkan (legal)
4. Kualitas bahan makanan harus tidak
merugikan konsumen dan ekonomis
Berikut
beberapa cara preservasi kimia pada daging, yaitu :
·
Pengasapan
Pengasapan
adalah proses pengawetan daging dengan cara memberikan asap pada daging dalam
suhu dan jangka waktu tertentu. Tujuan utama pengasapan adalah pengembangan
citarasa, pengawetan, pengembangan warna, membuat atau menciptakan produk baru,
dan melindungi dari oksidasi lemak.
Pengasapan
dapat dikerjakan antara lain dengan metode pengasapan panas, pengasapan dingin,
dapat juga dengan campuran dari kedua metode tersebut dan dengan metode
elektrostatis smoking. Pengasapan dilakukan selama 4-8 jam di dalam almari
pengasap. Metode konvensional yang bias dipakai untuk pengasapan daging yaitu
pengasapan dalam ruang asap yang disebut smoke house. Daging digantung pada rak
asap atau kayu dalam ruang asap dan daging tidak boleh saling bersentuhan.
Proses
pengasapan mempunyai beberapa akibat antara lain pengaruh yang bersifat
mengawetkan yang ditimbulkan oleh penyimpanan/penimbunan di permukaan daging
senyawa kimia seperti formaldehyde, asetaldehide, aseton diasetil, methanol,
etanol, asam-asam format dan asetat, furfural dehida, resin, bahan lilin, dan
banyak senyawa lainya.
Pengawetan
juga bisa disebabkan oleh pengeringan permukaan yang menguapkan kira-kira 3%
dari kehilangan seluruh berat pada produk-produk yang diasap panas. Pengaruh
bahan antioksidan juga dihasilkan oleh pemasukan senyawa-senyawa fenol ke dalam
produk dan pada permukaan bahan yang diasap, bahan-bahan ini menyebabkan
ketahanan simpanyang lebih lama, dan memberikan cita rasa yang khas pada
produk-produk tradisional.
Komposisi
asap dipengaruhi oleh berbagai factor, misalnya suhu pemanasan atau pembakaran
yang digunakan, tipe alat pembuat asap, metode pembuatan asap, jenis kayu dan
jenis asap. Lebih dari 200 macam komponen asap telah diisolasi dari kayu. Komponen-komponen yang
memegang peran penting dalam proses pengasapan adalah komponen karbonil,
asam-asam organic, alcohol, beberapa gas (karbondioksida, karbonmonoksida,
oksigen, nitrogen, nitrogenoksida), dan hidrokarbon, dan termasuk zat-zat
senyawa turunan bebzen. Senyawa-senyawa turunan benzene lebih banyak bersifat
toksit dan karsinogenik, dimana residunya dalam jangka waktu lama akan
menyebabkan anemia dan leukemia. Batas penerimaan senyawa benzen dalam tubuh
manusia tidak lebih dari 10 ppm.
Curing merupakan teknik pengawetan daging dengan menggunakan
garam dalam konsentrasi tertentu. Seiring dengan berkembangnya rantai dingin,
metode curing dinilai tidak efisien namun curing tetap dilakukan dengan tujuan
membentuk sifat sensoris daging. Curing bertujuan untuk memperpanjang masa
simpan daging,menghambat aktibitas mikrobia terutama Clostridium botulinum,
memperbaiki flavor dan tujuan utamanya adalah memperbaiki warna daging menjadi
merah pink. Penyebab warna merah karena bakteri mengubah nitrat menjadi nitrit,
nitrit dipecah menjadi NO (nitroso) yang kemudian berekasi dengan pigmen daging
(mioglobin) membentuk nitrosochemochromagen sehingga terbentuk warna merah
menarik dan haemoglobin. Nitrit mampu memberikan flavor yang spesifik
kemungkinan dikarenakan adanya reaksi antara nitrit dengan komponen volatile
daging. Contoh produk olahan daging curing yang
banyak di pasaran seperti adalah bacon (daging
babi, sapi, kalkun),
sosis (hotdog, franks,
cocktaill), cornet dan dendeng (Rahmawati,
2011).
IV.KESIMPULAN
Preservasi berarti menghambat atau
membatasi reaksi-reaksi enzimatis, kemis, dan kerusakan fisik daging dan daging
proses. Metode yang banyak digunakan untuk memperpanjang masa simpan daging dan
daging proses adalah dengan pendinginan atau yang lazim disebut refrigerasi
pada temperatur antara −2oC sampai 5oC. Di samping itu daging dan daging proses
dapat diawetkan dengan proses pembekuan, proses termal (pemanasan) dan
dehidrasi (pengeringan). Preservasi daging juga dilakukan dengan cara iradiasi,
pengepakan, dan perlakuan kimiawi, misalnya dengan cara curing dan pengasaman.
DAFTAR PUSTAKA
Alwin,dkk.2014. LAMA PENYIMPANAN PADA SUHU DINGIN DAGING BROI LER YANG DIBERI AIR PERASAN
JERUK KASTURI (Citrus madurensis Lour.). Jurnal zootek (“zootek
journal”) Vol 34 No 2: 148 – 158
Heryadi.2013.PengawetanDaging.Http://heryahyadi.blogspot.co.id/2013/04/penyimpanan
-dan-pengawetan-daging.html (Diakses Pada Minggu,07 Mei 2017 Pukul 18.00 WIB)
Irman.2011.Bentuk Pengawetan Daging. http://irmangasali.blogspot.co.id/2011/01
/pengawetan-daging.html (Diakses Pada Minggu,07 Mei 2017
Pukul 18.30 WIB)
Yuzni.2014.Pengertian Preservasi.http://yuzniemulyhana.blogspot.co.id/2014/06/
proses-penanganan-daging.html (Diakses Pada Minggu,07 Mei 2017
Pukul 19.00 WIB)
0 komentar:
Posting Komentar