Rabu, 14 Juni 2017

PRESERVASI DAGING "METODE-METODE PENGAWETAN DAGING" (TEKNOLOGI HASIL TERNAK)











KATA PENGANTAR


Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang mana atas berkah dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah ilmiah tentang “Preservasi Daging” ini sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.

Makalah ilmiah ini telah penulis susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dalam penyusunannya ataupun pemilihan tata bahasanya. Oleh karena itu penulis mengaharapkan segala saran dan kritik yang membangun dari pembaca agar penulis  dapat lebih baik dalam penyusunan makalah selanjutnya. Penulis berharap semoga makalah tentang “Preservasi Daging”ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.








DAFTAR ISI


Halaman
KATA PENGANTAR………………………………………………………               i
DAFTAR ISI………………………………………………………………...              ii
I.PENDAHULUAN…………………………………………………………             1
     1.1 Latar Belakang……………………………………………………….               1
     1.2 Tujuan…………………………………………………………………             2
II. ISI……………..………………………………………………………….              3
III. PENUTUP……………………..………………………………………….            9
DAFTAR PUSTAKA














I.PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang

Daging segar adalah otot skeletal (kerangka) karkas ternak yang belum diolah dan atau tidak ditambah dengan bahan apapun (SNI 3932, 2008). Penyediaan daging harus didahului dengan penyembelihan secara normatif yang berasal dari sapi, kerbau, kambing, domba, babi, unggas dan hewan lainnya (BINTORO, 2008). Daging yang dapat dikonsumsi umumnya berasal dari ternak yang sehat, saat penyembelihan dan pemasaran diawasi oleh petugas rumah potong hewan (RPH) serta terbebas dari pencemaran bakteri (USMIATI, 2010).
Daging (khususnya daging sapi) di Indonesia umumnya diproduksi oleh RPH, dan kemungkinannya mempunyai potensi untuk tercemar bakteri, sesaat setelah dipotong, dipasarkan, bahkan sampai di konsumen. Daging yang tercemar bakteri mudah mengalami kerusakan, karena mengandung nutrien yang dibutuhkan untuk pertumbuhan bakteri (GUSTIANI, 2009). Berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN) persyaratan mikrobiologis (bakteri) dalam daging sapi yang beredar di Indonesia adalah total plate count (TPC) 106 CFU/g, bakteri coliform 102 CFU/g, bakteri Staphylococcus aureus 102 CFU/g, bakteri Salmonella sp., negatif per 25 g dan bakteri Escherichia coli 10 CFU/g (SNI 3932, 2008). Apabila kandungan bakteri dalam daging melebihi standar yang telah ditentukan, maka daging tersebut dianggap tidak layak sebagai bahan pangan, karena kemungkinan menjadi mudah rusak. Kemungkinan pula dapat menimbulkan penyakit, apabila daging yang mengandung bakteri patogen diolah kurang sempurna dan selanjutnya dikonsumsi.
Salah satu penanganan setelah pemotongan ternak adalah penyimpanan suhu dingin. Dikatakan pula bahwa suhu dan lama penyimpanan mempengaruhi kualitas daging. Dewasa ini, untuk menghemat waktu, biaya, dan tenaga para ibu rumah tangga tidak lagi berbelanja rutin dengan frekuensi setiap hari. Hal ini menyebabkan, saat membeli daging terkadang mereka menyimpannya dan tidak segera mengolahnya. Menyimpan daging agar tahan lama tentu menjadi kebutuhan rumah tangga. Oleh karena itu untuk memperpanjang lama penyimpanan daging diperlukan suatu usaha pengawetan. Tujuan pengawetan adalah menghambat atau membatasi reaksi-reaksi enzimatis, kimiawi, dan kerusakan fisik dari daging (Soeparno, 2009).
                      
1.2 Tujuan

Adapun tujuan dari makalah ilmiah ini yaitu untuk
1.      Mengetahui bagaiamana cara pengawetan daging dengan berbagai macam pengawetan daging.












II. PEMBAHASAN


Preservasi berarti menghambat atau membatasi reaksi-reaksi enzimatis, kemis, dan kerusakan fisik daging dan daging proses. Metode yang banyak digunakan untuk memperpanjang masa simpan daging dan daging proses adalah dengan pendinginan atau yang lazim disebut refrigerasi pada temperatur antara −2oC sampai 5oC. Di samping itu daging dan daging proses dapat diawetkan dengan proses pembekuan, proses termal (pemanasan) dan dehidrasi (pengeringan). Preservasi daging juga dilakukan dengan cara iradiasi, pengepakan, dan perlakuan kimiawi, misalnya dengan cara curing dan pengasaman (Soeparno, 1994).
Preservasi bertujuan, antara lain untuk mengamankan daging dan produk daging proses dari kerusakan atau pembusukan oleh mikroorganisme dan untuk memperpanjang masa simpannya. Preservasi berarti menghambat atau membatasi reaksi-reaksi enzimatis, kimiawi dan kerusakan fisik daging dan daging proses. Salah satu tindakan preservasi yang biasa dilakukan adalah pembekuan (Soeparno, 1994)

Beberapa teknik pengawetan yang sering digunakan dan diharapkan akan meningkatkan mutu dalam keempukan dan citarasa :

1. Penggunaan suhu rendah
Dinegara-negara industri, hampir semua bahan makanan asal hewan seperti daging dan ikan disimpan dengan menggunakan teknik suhu rendah yakni pendinginan dan pembekuan. Penggunaan teknik pendinginan dimana suhu sedikit diatas 0°C, memungkinkan bahan makanan dapat disimpan selama beberapa hari sampai beberapa minggu tergantung jenis makanan, suhu dan teknik penyimpanan. Pada teknik pembekuan dimana suhu dibawah 0°C, umumnya sekitar – 18°C, bahan makanan/daging dapat disimpan selama beberapa bulan, malahan daging dapat disimpan sampai beberapa tahun pada suhu – 30°C.
Dinegara-negara yang teknologinya masih rendah seperti di Indonesia dan khususnya ditingkat pedesaan dimana pemakaian suhu rendah masih menjadi kendala maka penggunaan teknologi sederhana dengan memanfaatkan sumberdaya alam yang tersedia merupakan pilihan utama dalam penyimpanan bahan makanan asal ternak tersebut.

1.1. Pendinginan (refrigeration)   
Pendinginan memungkinkan untuk menyimpan daging dalam waktu tertentu berkat aksinya dalam menghambat perkembangan bakteri tanpa membunuh bakteri. Oleh karena itu sangat penting diperhatikan bahwa suhu dingin sebaiknya secepat mungkin dioperasikan setelah ternak dipotong dan agar daging/karkas sekurang mungkin dicemari/terkontaminasi oleh bakteri selama proses pemotongan. Ini dimaksudkan untuk mendapatkan daging dengan kualitas higienis yang baik. 

Pendinginan dimaksudkan pula untuk meningkatkan kualitas daging terutama keempukan dan citarasa yang terjadi selama proses penyimpanan karena adanya maturasi pada daging.
Seperti pula diketahui bahwa suhu karkas berkisar 35 – 37° C pada akhir proses pemotongan maka peranan pendinginan cukup penting didalam menurunkan suhu karkas tersebut agar dapat disimpan pada suhu sekitar 0 - +2° C. Pendinginan karkas dengan menggunakan suhu mendekati titik nol (0 – 5° C) pada suhu karkas masih tinggi , dimana pada saat itu karkas masih dalam kondisi pra rigor, dapat mengakibatkan kelainan mutu daging yang dikenal dengan nama cold shortening atau pengkerutan karena dingin. Pengkerutan akibat dingin menyebabkan otot memendek bisa mencapai 50 % dan daging menjadi keras dan kehilangan cukup cairan yang berarti selama pemasakan.

Pada tahap pertama, karkas didinginkan pada suhu dimana persentase pengkerutan paling minimal, berdasarkan penelitian Locker dan Hagyard (1963) untuk memperoleh pengekerutan minimal sebaiknya daging didinginkan pada suhu antara 14 – 19° C selama 24 jam pertama dimana pada saat tersebut rigor mortis telah terbentuk. Kecepatan terbentuknya rigor mortis sangat tergantung pada suhu dan kondisi ternak pada saat disembelih. Locker dan Daines (1975) memperlihatkan waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis pada otot Sternomandibularis pada suhu 37° C, 34° C, 24° C, dan 15° C,  masing-masing secara berurutan 7 jam, 10 jam, 12 jam, dan 24 jam. Rigor mortis dapat pula terbentuk dalam waktu yang cepat pada ternak-ternak yang telah kekurangan atau kehabisan glikogen akibat habis terkuras karena perlakuan-perlakuan yang keras sebelum pemotongan dilakukan.

Cold shortening yang terjadi karena pendinginan yang cepat dengan suhu sangat rendah pada karkas terutama pada potongan-potongan karkas dan daging mengakibatkan kealotan yang berarti.
Karkas yang telah mengalami rigor mortis, kemudian disimpan pada kamar pendingin (+ 2°  C) selama beberapa hari. Selama penyimpanan ini terjadi maturasi yakni proses transformasi kimia didalam otot dan memperlihatkan efek terhadap perbaikan keempukan daging secara progresif sampai tingkat optimal. Keadaan dimana daging menjadi matang, pada tingkat inilah daging sebaiknya dikonsumsi.

Untuk memperoleh tingkat maturasi yang baik, pada umumnya karkas sapi disimpan antara 10 – 15 hari pada suhu  + 2°  C sebelum daging tersebut di konsumsi. Untuk praktisnya, maturasi biasanya berlangsung selama 7 – 8 hari dengan alas an ekonomi. Hal mana tidaklah cukup dari segi teknisnya.  Gambar 2, memperlihatkan evolusi keempukan daging berdasarkan lama penyimpanan pada suhu mendekati 2 C°.

1.2. Pembekuan (Freezing)  
Pembekuan merupakan tahap selanjutnya dari penyimpanan daging setelah karkas melalui proses maturasi (aging) yang optimal dimana proses komplet rigor mortis telah terpenuhi. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah timbulnya cold shortening dan thaw rigor pada saat daging dicairkan dari kristal es yang meliputinya sebelum dimasak. 

Untuk pengawetan daging dengan menggunakan suhu sangat rendah, maka potongan – potongan karkas terlebih dahulu harus dikeluarkan tulang-tulangnya dan menghilangkan lemak dipermukaan karkas/daging, sehingga benar-benar daging yang dibekukan. Ini dimaksudkan selain untuk efisiensi tempat, juga dimaksudkan untuk menghindari peruabahan – perubahan yang dapat terjadi pada daging selama penyimpanan terutama lemak, pada suhu rendah masih dapat mengalami proses ketengikan.

Untuk mendapatkan hasil/kualitas yang baik selama pembekuan maka perlu diperhatikan hal-hal berikut :
- Penggunaan suhu pembekuan cepat (- 36° C) atau sangat cepat (- 40° C) pada karkas atau daging yang telah mengalami maturasi.
- Menyimpan daging beku pada suhu rendah (-18° C).
- Menghindari variasi suhu selama penyimpanan.
- Menghindari pembekuan atau thawing secara berturut-turut.
- Thawing dilakukan secara lambat pada suhu + 1° C.

·         Preservasi Kimia
Bahan kimia yang dipergunakan untuk preservasi daging mempumyai sifat antara lain :
1.        Menghambat atau mencegah perubahan kualitas daging selama penyimpanan
terbatas
2.    Memperpanjang masa simpan
3.    Sebagai bahan pengawet
4.    Menambah nilai gizi, aroma dan rasa
5.    Sebagai pewarna
6.    Pengatur kelembaban
7.    Pengatur pH
Suatu preservatif untuk memperpanjang masa simpan daging harus memenuhi criteria sebagai berikut :
1.    Tidak mengubah flavor, bau atau warna dan tekstur bahan makanan
2.  Aman bagi konsumen pada konsentrasi efektif sebagai preservatif atau aman
      
untuk dikonsumsi selama masa simpan tertentu
3.   Preservatif harus mudah dikenal dan kadarnya dapat dideteksi secara pasti, serta harus memenuhi kebutuhan yang diizinkan (legal)
4.    Kualitas bahan makanan harus tidak merugikan konsumen dan ekonomis
Berikut beberapa cara preservasi kimia pada daging, yaitu :
·         Pengasapan
Pengasapan adalah proses pengawetan daging dengan cara memberikan asap pada daging dalam suhu dan jangka waktu tertentu. Tujuan utama pengasapan adalah pengembangan citarasa, pengawetan, pengembangan warna, membuat atau menciptakan produk baru, dan melindungi dari oksidasi lemak.
Pengasapan dapat dikerjakan antara lain dengan metode pengasapan panas, pengasapan dingin, dapat juga dengan campuran dari kedua metode tersebut dan dengan metode elektrostatis smoking. Pengasapan dilakukan selama 4-8 jam di dalam almari pengasap. Metode konvensional yang bias dipakai untuk pengasapan daging yaitu pengasapan dalam ruang asap yang disebut smoke house. Daging digantung pada rak asap atau kayu dalam ruang asap dan daging tidak boleh saling bersentuhan.
Proses pengasapan mempunyai beberapa akibat antara lain pengaruh yang bersifat mengawetkan yang ditimbulkan oleh penyimpanan/penimbunan di permukaan daging senyawa kimia seperti formaldehyde, asetaldehide, aseton diasetil, methanol, etanol, asam-asam format dan asetat, furfural dehida, resin, bahan lilin, dan banyak senyawa lainya.
Pengawetan juga bisa disebabkan oleh pengeringan permukaan yang menguapkan kira-kira 3% dari kehilangan seluruh berat pada produk-produk yang diasap panas. Pengaruh bahan antioksidan juga dihasilkan oleh pemasukan senyawa-senyawa fenol ke dalam produk dan pada permukaan bahan yang diasap, bahan-bahan ini menyebabkan ketahanan simpanyang lebih lama, dan memberikan cita rasa yang khas pada produk-produk tradisional.
Komposisi asap dipengaruhi oleh berbagai factor, misalnya suhu pemanasan atau pembakaran yang digunakan, tipe alat pembuat asap, metode pembuatan asap, jenis kayu dan jenis asap. Lebih dari 200 macam komponen asap telah  diisolasi dari kayu. Komponen-komponen yang memegang peran penting dalam proses pengasapan adalah komponen karbonil, asam-asam organic, alcohol, beberapa gas (karbondioksida, karbonmonoksida, oksigen, nitrogen, nitrogenoksida), dan hidrokarbon, dan termasuk zat-zat senyawa turunan bebzen. Senyawa-senyawa turunan benzene lebih banyak bersifat toksit dan karsinogenik, dimana residunya dalam jangka waktu lama akan menyebabkan anemia dan leukemia. Batas penerimaan senyawa benzen dalam tubuh manusia tidak lebih dari 10 ppm.
Curing merupakan teknik pengawetan daging dengan menggunakan garam dalam konsentrasi tertentu. Seiring dengan berkembangnya rantai dingin, metode curing dinilai tidak efisien namun curing tetap dilakukan dengan tujuan membentuk sifat sensoris daging. Curing bertujuan untuk memperpanjang masa simpan daging,menghambat aktibitas mikrobia terutama Clostridium botulinum, memperbaiki flavor dan tujuan utamanya adalah memperbaiki warna daging menjadi merah pink. Penyebab warna merah karena bakteri mengubah nitrat menjadi nitrit, nitrit dipecah menjadi NO (nitroso) yang kemudian berekasi dengan pigmen daging (mioglobin) membentuk nitrosochemochromagen sehingga terbentuk warna merah menarik dan haemoglobin. Nitrit mampu memberikan flavor yang spesifik kemungkinan dikarenakan adanya reaksi antara nitrit dengan komponen volatile daging. Contoh produk olahan daging curing yang banyak di pasaran seperti adalah bacon (daging babi, sapi, kalkun), sosis (hotdog, franks, cocktaill), cornet dan dendeng (Rahmawati, 2011).























IV.KESIMPULAN

Preservasi berarti menghambat atau membatasi reaksi-reaksi enzimatis, kemis, dan kerusakan fisik daging dan daging proses. Metode yang banyak digunakan untuk memperpanjang masa simpan daging dan daging proses adalah dengan pendinginan atau yang lazim disebut refrigerasi pada temperatur antara −2oC sampai 5oC. Di samping itu daging dan daging proses dapat diawetkan dengan proses pembekuan, proses termal (pemanasan) dan dehidrasi (pengeringan). Preservasi daging juga dilakukan dengan cara iradiasi, pengepakan, dan perlakuan kimiawi, misalnya dengan cara curing dan pengasaman.

















DAFTAR PUSTAKA

Alwin,dkk.2014. LAMA PENYIMPANAN PADA SUHU DINGIN DAGING BROI LER YANG DIBERI AIR PERASAN JERUK KASTURI (Citrus madurensis Lour.). Jurnal zootek (“zootek journal”) Vol 34 No 2: 148 – 158

Heryadi.2013.PengawetanDaging.Http://heryahyadi.blogspot.co.id/2013/04/penyimpanan -dan-pengawetan-daging.html (Diakses Pada Minggu,07 Mei 2017 Pukul 18.00 WIB)

Irman.2011.Bentuk Pengawetan Daging. http://irmangasali.blogspot.co.id/2011/01 /pengawetan-daging.html (Diakses Pada Minggu,07 Mei 2017 Pukul 18.30 WIB)

Yuzni.2014.Pengertian Preservasi.http://yuzniemulyhana.blogspot.co.id/2014/06/ proses-penanganan-daging.html (Diakses Pada Minggu,07 Mei 2017 Pukul 19.00 WIB)


0 komentar:

Posting Komentar