This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Rabu, 14 Juni 2017

IDENTIFIKASI PENYAKIT UNGGAS DAN RUMINANSIA ( Newcastle Disease dan Pink Eye)



nd.jpg 















Gambar 1. Ayam Broiler Terjangkit Penyakit Newcastle Disease
Jenis Ternak             : Unggas
Dugaan Penyakit                  : Newcastle Disease
Asal Hewan             : Kota Metro, Lampung
Nama Pemilik                       : Hermawan
Waktu Pengambilan Foto     : 28 Mei 2017
Menurut saya, ayam ini terserang penyakit Newcastle Disease. Sebab, ayam broiler ini sukar bernafas, megap-megap dan ngorok,  gejala syaraf berupa sayap terkulai, kaki lumpuh (jalan terseret), serta leher terpelintir yang merupakan gejala khas penyakit ini. Kemudian gejala pencernaan meliputi diare berwarna hijau, jaringan sekitar mata dan leher bengkak.
Hal ini sesuai dengan pendapat Alexander and Senne (2008) menyatakan bahwa berdasarkan tanda-tanda klinis yang terlihat pada ayam yang terinfeksi NDV telah dikelompokkan menjadi lima pathotype. Viscerotropic velogenic: bentuk yang sangat patogen di mana lesi usus hemoragik sering terlihat; Neurotropic velogenic: bentuk yang ditandai dengan kematian yang tinggi, biasanya diikuti dengan gejala pernapasan dan saraf; Mesogenic: bentuk yang ditandai dengan gejala pernapasan, gejala saraf sesekali, tapi tingkat kematian rendah; Lentogenic: bentuk yang menunjukkan adanya infeksi pernafasan ringan atau subklinis; dan Asimtomatic: bentuk yang biasanya ditandai dengan infeksi enterik yang bersifat subklinis.
Tabbu (2000) menjelaskan bahwa unggas yang terinfeksi virus ND terutama dari tipe velogenic viscerotropic (VVND) gejala klinis yang ditimbulkan antara lain terjadi kelesuan, peningkatan frekuensi pernafasan, kehilangan nafsu makan, penurunan konsumsi air minum, kelemahan dan berakhir kematian. Adi, et al (2009) menjelaskan bahwa ayam yang terinfeksi virus ND velogenik gejala klinis yang ditimbulkan dehidrasi, badan mengalami kekurusan dan diare kehijauan yang menempel di sekitar kloaka.

·        Penyebab Penyakit Newcastle Disease (ND)

OIE mendefinisikan ND sebagai infeksi yang disebabkan oleh virus APMV- 1 dengan indeks ICPI 0,7 atau lebih besar bila disuntik pada ayam umur sehari (OIE, 2000). Virus ND memiliki dua pasang asam amino dasar, yaitu Lysine (K) atau Arginine (R) (Sudarisman, 2009). Genom virus ini mempunyai 6 protein utama yang menyusunnya yaitu Nucleocapsid protein (N), Phosphoprotein (P), Matrix protein (M), Fusion protein (F), Hemagglutinin-neuraminidase protein (HN) dan Large polymerase protein (L). Protein N, P, HN dan F terletak di bagian luar envelope sedangkan protein M terdapat di lapisan dalam virion. Protein-protein ini mempunyai peran masing-masing dalam menentukan virulensi virus ND (Hewajuli and Dharmayanti, 2011)
 













Gambar 2. Virus Penyakit ND
·         Diagnosis

Untuk mengetahui unggas yang terinfeksi ND adalah dengan melacak keberadaan antibodi pada serumnya. Metode yang dipergunakan adalah metode Enzym Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dan Western Imunoblotting. Caranya sampel darah diambil dari unggas yang tidak pernah divaksinasi dengan vaksin ND. Sehingga, adanya antibodi ND pada sampel yang diperiksa menandakan bahwa unggas itu pernah terinfeksi virus ND bukan akibat vaksinasi. Darah diambil dari vena brachialis (vena di bagian sayap),menggunakan dispossible syringe 2,5 CC yang digunakan sekali pakai. Darah ditampung dalam sebuah tabung reaksi, didiamkan semalam pada lemari pendingin, kemudian serum dipisahkan dengan cara di centrifuge

·        Cara penularan virus ND


Virus ND yang terutama bereplikasi di dalam saluran pencernaan akan menyebabkan adanya feses yang tercemar oleh virus tersebut. Penularan virus ND juga dapat terjadi secara oral akibat ingesti feses yang mengandung virus tersebut ataupun secara tidak langsung melalui pakan atau minuman yang tercemar atau perinhalasi akibat menghirup partikel feses yang mengering (Fenner, 1993; Center for Food Security and Public Health, 2008). Penyebab perbedaan keganasan diantara strain Paramyxovirus adalah terletak pada cepat atau lambatnya perbanyakan virus bersangkutan (Russel, 1993).
Penularan virus ND dapat secara langsung dari ayam yang sakit ke ayam yang peka, tetapi dapat juga terjadi secara tidak langsung melalui bahan, alat atau pekerja yang tercemar virus tersebut. Cara penularan virus ND dari ayam yang sakit ke ayam yang peka tergantung pada tempat bereplikasi dari virus tersebut. Ayam yang menunjukkan gejala gangguan pernafasan akan menyebabkan adanya udara bercampur titik air yang mengandung virus ND yang berasal dari mukus ayam sakit. Penularan virus ND dapat terjadi secara inhalasi (Tabbu, 2000). Penularan penyakit ND secara aerosol dapat terjadi meskipun jaraknya cukup jauh yakni 64 meter dari sumber infeksi (Kencana, 2012).
Virus ND dapat ditemukan dalam telur ayam yang terinfeksi virus tersebut tapi penularan secara transovarial mungkin tidak terjadi oleh karena embrio sudah mati sebelum telur menetas. Virus ini juga dapat menembus kerabang telur untuk menginfeksi embrio (Fenner, 1993). Penularan melalui telur ini dapat terjadi akibat kulit telur terkontaminasi oleh feses yang telah mengandung virus ND (Kencana, 2012).
Penyebaran virus ini sangat cepat, baik dari ayam ke ayam maupun dari kandang ke kandang. Ayam yang menderita penyakit ini akan akan menghasilkan telur yang mengandung virus ND, sehingga telur yang mengandung virus tersebut tidak akan menetas. Dua hari setelah virus menginfeksi ayam, ayam sudah menjadi sumber penyakit yang siap menebar pada kelompoknya, dan dari kandang ke kandang lain. Virus ND berada di udara pernafasan, tinja, ayam yang mengalami sakit dan pada karkas ayam yang mati karena ND. Di samping oleh ayam, penyebaran penyakit dapat melalui burung piaraan atau burung liar yang ada di sekitar atau masuk ke dalam kandang.
 Peranan dari berbagai faktor di atas dalam penularan virus ND tergantung pada berbagai faktor manajemen dan lingkungan tempat suatu peternakan beroperasi. Keberhasilan penularan virus ND erat hubungannya dengan kemampuan virus tersebut bertahan dalam bangkai ayam atau ekskresi dari ayam sakit. Di dalam bangkai ayam yang terinfeksi, virus ND dapat bertahan selama beberapa minggu pada temperatur rendah atau selama beberapa tahun jika disimpan pada temperatur beku. Feses dapat mengandung virus ND dalam jumlah yang banyak, pada temperatur 37C virus tersebut masih tetap hidup selama lebih dari satu bulan (Tabbu, 2000).
Unggas yang terinfeksi ND dapat mengeluarkan virus selama 1 sampai 2 minggu kecuali pada burung psittacine yang dapat mengeluarkan virus selama beberapa bulan sampai lebih dari setahun. Adanya sekresi virus dalam waktu yang lama oleh burung psittacine menyebabkan burung ini menjadi sumber penular penting dari virus ND terutama daerah endemis (Kencana, 2012).

·        Perubahan Pasca Mati


Perubahan pasca mati pada unggas penderita antara lain meliputi ptechiae,berupa bintik-bintik perdarahan pada proventrikulus dan seca tonsil, eksudat danperadangan pada saluran pernapasan serta nekrosis pada usus, sebagaimana Trakhea penderita ND terlihat lebih merah daripada trakhea normal, karena adanya peradangan (Tabbu, 2000).

·        Pencegahan

Tindakan vaksinasi merupakan langkah yang tepat sebagai upaya pencegahan terhadap penyakit ND. Program vaksinasi yang secara umum diterapkan, yaitu (1) pada infeksi lentogenik ayam pedaging, dicegah dengan pemberian vaksin aerosol atau tetes mata pada anak ayam umur sehari dengan menggunakan vaksin Hitchner B1 dan dilanjutkan dengan booster melalui air minum atau secara aerosol (2) pada infeksi lentogenik ayam pembibit dapat dicegah dengan pemberian vaksin Hitchner B1 secara aerosol atau tetes mata pada hari ke-10. Vaksinasi berikutnya dilakukan pada umur 24 hari dan 8 minggu dengan vaksin Hitchner B1 atau vaksin LaSota dalam air, diikuti dengan pemberian vaksin emulsi multivalen yang diinaktivasi dengan minyak pada umur 18 – 20 minggu. Vaksin multivalen ini dapat diberikan lagi pada umur 45 minggu, tergantung kepada titer antibodi kawanan ayam, resiko terjangkitnya penyakit dan faktor-faktor lain yang berhubungan dengan pemeliharaan.
Tindakan pencegahan selain vaksinasi adalah sanitasi. Hal-hal yang perlu diperhatikan, antara lain (1) sebelum kandang dipakai, kandang dibersihkan kemudian dilabur dengan kapur yang dibubuhi NaOH 2%. Desinfeksi kandang dilakukan secara fumigasi dengan menggunakan fumigant berupa formalin 1 – 2% dan KMnO4, dengan perbandingan 1 : 5000 (2) liter diupayakan tetap kering, bersih dengan ventilasi yang baik. Bebaskan kandang dari hewan-hewan vektor yang bisa memindahkan virus ND.
Kandang diusahakan mendapat cukup sinar matahari (3) hindari penggunaan karung bekas (4) DOC harus berasal dari perusahaan pembibit yang bebas dari ND (5) di pintu-pintu masuk disediakan tempat penghapus hamaan, baik untuk alat transportasi maupun orang. (6) memberikan pakan yang cukup kuantitas maupun kualitas.

·        Vaksin dan Vaksinasi

Vaksin adalah suatu produk biologis yang berisi mikroorganisme agen penyakit yang telah dilemahkan atau diinaktifkan (atte~zuated). Vaksin secara umum adalah bahan yang berasal dari mikroorganisme atau parasit yang dapat merangsang kekebalan terhadap penyakit yang bersangkutan (Malole, 1988). Bahan yang berisi organisme penyebab penyakit tersebut jika dimasukkan ke dalam tubuh hewan tidak menimbulkan bahaya penyakit tetapi masih dapat dikenal oleh sistem imun (Kayne and Jepson, 2004) serta dapat merangsang pembentukan zat-zat kekebalan terhadap agen penyakit tersebut (Tizard, 1988) dan tindakan ini dikenal dengan istilah vaksinasi.
Vaksin terdiri atas vaksin aktifd dan vaksin inaktif. Agen penyakit dalam vaksin aktifd atau vaksin hidup berada dalam keadaan hidup namun telah dilemahkan. Agen penyakit pada vaksin inaktif berada dalam keadaan mati dan biasanya ditambahkan dengan adjuvant (Akoso, 1988). Adjuvan merupakan bahan kimia yang memperlambat proses penghancuran antigen dalam tubuh serta merangsang pembentukan kekebalan sehingga menghasilkan antibodi sedikit demi sedikit (Malole, 1988). Umumnya vaksin aktif lebih baik daripada vaksin inaktif, karena vaksin aktif dapat memberikan respon kekebalan yang lebih kuat, dapat diberi tanpa penambahan adjuvan dan dapat merangsang produksi interferon (Tizard, 1988). Namun vaksin aktifd sering memperlihatkan gejala post-vaksinasi yang kurang baik seperti gangguan pemafasan yang ringan dan menurunnya produksi telur (Wetsbury et al., 1984).
Keberhasilan vaksinasi dipengaruhi oleh mutu vaksin. Vaksin yang ideal harus mempunyai mutu yang baik, mutu vaksin akan menurun jika tidak disimpan dengan baik setelah diterima oleh pengguna. Kondisi yang dapat merusak keampuhan vaksin antara lain penyimpanan yang tidak sempurna, pengenceran yang berlebihan saat akan digunakan, serta air pencampuran yang menganduing chlorin atau bahan sanitasi. Menurut Malole (1988), vaksin yang baik harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu kemurnian, keamanan, serta vaksin harus dapat menimbulkan kekebalan terhadap penyakit pada hewan.
Suatu vaksin dapat dikatakan memenuhi ketiga persyaratan diatas jika dua minggu setelah vaksinasi telah terbentuk antibodi dengan titer protektif. Proteksi vaksin dapat diuji dengan penantangan/diinfeksi virus ganas. Vaksin yang baik harus memberikan proteksi lebih dari 95% terhadap hewan coba atau tidak lebih dari 5% hewan yang terinfeksi atau sakit atau mati. Menurut Akoso (1998), selain mutu vaksin, keberhasilan vaksinasi juga dipengaruhi oleh status kesehatan unggas, keadaan nutrisi unggas, sanitasi lingkungan dan sistem perkandangan, serta program vaksinasi yang baik.
Vaksin ND dapat berasal dari virus tipe lentogenik, mesogenik, maupun velogenik. Tipe lentogenik merupakan strain virus ND yang virulensi dan mortalitasnya rendah yaitu strain B1 (Hitcher), strain La Sota, dan strain F (FA0, 2004). Strain F memiliki tingkat virulensi paling rendah dibandingkan dengan strain lain pada tipe lentogenik. Vaksin dengan strain ini paling efektif dilakukan secara individu. Strain B1 rnemiliki tingkat virulensi lebih tinggi dibandingkan dengan strain F. Aplikasi vaksin strain B1 dilakukan melalui air minum atau penyemprotan.
Pemberian vaksinasi dilakukan pada DOC (Day Old Chick) kemudian diikuti dengan strain La Sota pada umur 10-14 hari (Fadilah and Polana, 2004). Tipe mesogenik memberikan kekebalan yang lebih lama dibanding kekebalan yang dihasilkan oleh tipe lentogenik. Namun pemberian vaksin tipe mesogenik pada
ayam yang belum mempunyai kekebalan dasar dapat menimbulkan reaksi postvaksinasi dan penurunan produksi telur (Nugroho, 1981). Tipe mesogenik yangdipakai sebagai vaksin diantaranya adalah strain Rokain, strain Mukteshwar, strainKommarov, dan strain Bankowski (Sudrarjat, 1991). Strain Mukteshwar bersifatpatogenik dan digunakan secara terbatas pada ayam yang sebelumnya telah divaksindengan salah satu jenis vaksin tipe lentogenik.
Vaksin ini telah diterima secara luaspada iklim tropis di Asia Tenggara. Strain Kommarov memiliki tingkat virulensilebih rendah dibandingkan dengan strain Mukteshwar. Strain Rokain dan strainBankowski (Tissue Culture Vaccine) sering disebut dengan wing-web vaccine.Vaksin dengan strain ini tidak bisa digunakan pada ayam muda yang masih memilikimaternal immunity (Fadilah dan Polana ,2004).Tipe velogenik dibuat sebagai bahan vaksin dalam bentuk vaksin inaktif(Nugroho, 1981). Karena tipe velogenik melupakan virus dengan tingkat virulensiyang sangat tinggi (FAO, 2004). Tipe asiinptomatik yang inempunyai kemampuanmenimbulkan kekebalan tubuh dikenal dengan strain V4 dan Vister 2C. Strain inisangat potensial digunakan sebagai vaksin di daerah tropis karena merupakan vaksinyang mengandung virus tahan panas (Darminto, 2002).


·        Pengendalian

Tindakan pengendalian untuk menekan penularan penyakit ND sangat diperlukan. Tindakan-tindakan tersebut, antara lain meliputi (1) ayam yang mati karena ND harus dibakar atau dikubur (2) ayam penderita yang masih hidup harus disingkirkan, disembelih dan daging bisa diperjualbelikan dengan syarat harus dimasak terlebih dahulu dan sisa pemotongan harus dibakar atau dikubur (3) larangan mengeluarkan ayam, baik dalam keadaan mati atau hidup bagi peternakan yang terkena wabah ND, kecuali untuk kepentingan diagnosis(4) larangan menetaskan telur dari ayam penderita ND dan izin menetaskan telur harus dicabut selama masih ada wabah ND pada perusahaan pembibit (5) penyakit ND dianggap lenyap dari peternakan setelah 2 bulan dari kasus terahir atau 1 bulan dari kasus terakhir yang disertai tindakan penghapus hamaan.




IMG_1043.JPG
 















Gambar 3. Kambing Kacang yang terserang Pink Eye

Jenis Ternak             : Ruminansia
Dugaan Penyakit                  : Pink Eye
Asal Hewan             : Jurusan Peternakan, Unila
Nama Pemilik                       : Muchtarudin
Waktu Pengambilan Foto     : 12 Juni 2017

Menurut saya, kambing ini terserang penyakit Pink Eye. Sebab,diketahui ciri-ciri pada kambing yaitu mata merah pada seluruh bagian mata dan keluar cairan bening (mukosa) yang keluar dari celah selaput palpebra mata serta terlihatnya adanya katarak (kekeruhan) dan belekan. Pink Eye (mata merah) disebabkan mikroorganisme bakteri ataupun virus. Penyakit pink eye memang biasa menjangkit pada hewan seperti kambing, yang diserang adalah bagian mata.
Menurut Irwan S.Kh (2014) Pink eye disebut juga penyakit epidemik, karena ditempat yang telah terinfeksi dapat berjangkit kembali setiap tahunnya. Penyakit ini sering timbul dengan tiba-tiba terutama pada hewan dalam keadaan lelah. Pink eye dapat menyerang semua jenis ternak dan semua tingkat umur, tetapi hewan muda lebih peka dibandingkan dengan hewan tua. Pink eye dapat disebabkan oleh mikroorganisme pathogen, benda asing, trauma dan perubahan iklim. Hal ini di dukung oleh pendapat Drh. Pudjiatmoko, Ph.D (2014) Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya infeksi pink eye yaitu lalat, debu, kelembaban, musim, kepadatan hewan di dalam kandang serta kualitas makanan. Infeksi pink eye lebih banyak berjangkit pada peralihan musim kemarau dibandingkan dengan musim penghujan. Tetapi pada kasus yang kronis dapat berlangsung sepanjang tahun.
Penyebab utama pink eye pada kambing sering dikenal rickettsia colesiota, namun para ahli masih banyak berbeda pendapat ada yang menyebutkan penyebabnya bakteri, virus, chlamidia dan juga rickettsia. Pink eye dapat disebabkan oleh mikroorganisme pathogen, benda asing, trauma dan perubahan iklim. Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya infeksi pink eye yaitu lalat, debu, kelembaban, musim, kepadatan hewan di dalam kandang serta kualitas makanan. Infeksi pink eye lebih banyak berjangkit pada peralihan musim kemarau dibandingkan dengan musim penghujan. Tetapi pada kasus yang kronis dapat berlangsung sepanjang tahun.
Masa inkubasi penyakit ini biasanya 2-3 hari, kadangkadang lebih panjang, hewan penderita mengalami demam, depresi dan penurunan nafsu makan, mata mengalami konjunctivitis, kreatitis, kekeruhan kornea dan lakrimasi. Pada kasus yang berat dapat menimbulkan ulserasi kornea dan kebutaan. Pada kornea mata hewan yang sembuh dari penyakit ini terdapat jaringan parut (Irwan S.Kh , 2014).

·        Etiologi
Penyebab pink eye dapat berupa bakteri, virus, rickettsia maupun chlamydia,tetapi yang paling sering ditemukan adalah bakteri Moraxella bovis (M. bovis)yang bersifat hemolitik. Pada sapi, selain M.bovis dapat disebabkan pula olehNeisseria catarrhalis. Pada domba dan kambing, pink eye dapat disebabkanoleh Rickettsia (Colesiata) conjungtivae, Mycoplasma conjungtivae, Brahanellacatarrhalis dan Chlamydia.Faktor virulensi dari M.bovis ditentukan oleh adanya pili. M.bovis yangmempunyai pili kasar (rough pill) adalah bakteri yang virulen, sedangkan koloniyang halus atau yang tidak berpili adalah bakteri yang tidak virulen. Ada 2 tipepili M.bovis, yaitu Tipe I dan Tipe Q. Pili tipe I berhubungan dengan kemampuanuntuk menyerang jaringan yang lebih dalam. Sedangkan pili tipe Q menunjukkankemampuannya menempel pada epithel kornea. Yang menarik dari M.bovisini adalah kemampuannya untuk berubah tipe dari tipe I ke tipe Q.
Faktor lainyang menentukan virulensi dari M.bovis adalah lipopolisakarida (LPS), sertaenzym-enzym yang dihasilkan seperti fi brinolisin, phosphatase, hyaluronidasedan aminopeptidase yang memegang peranan penting dalam merusak epithelkornea.

·        Epidemiologi

1.  Spesies rentan
Hewan yang rentan terhadap terjadinya pink eye adalah sapi, kerbau, kambing dan domba. Pink eye menyerang semua tingkat umur, namun hewan muda lebih peka dibandingkan dengan hewan tua. Prevalensi tinggi terjadi pada Bos Taurus dibanding dengan Bos indicus dan lebih resisten pada cross bred.
2.  Pengaruh Lingkungan
Penyakit pink eye sering terjadi pada musim panas dimana pada saat itu terdapat banyak debu dan meningkatnya populasi lalat. Namun pada kasus yang kronis dapat berlangsung sepanjang tahun.
3.  Sifat Penyakit
Pink eye bersifat epidemik dimana di tempat yang telah terinfeksi dapat berjangkit kembali setiap tahunnya. Hewan yang menderita penyakit Pink eye dapat bersifat karier.
4.  Cara Penularan
Penularan pink eye terjadi akibat kontak langsung dengan ternak terinfeksi melalui sekresi mata, atau secara tidak langsung melalui vektor lalat, debu dan percikan air yang tercemar oleh bakteri. Musca autumnalis, Musca domestica dan Stomoxys calcitrans merupakan vektor lalat yang sering ditemukan di sekitar mata. Pada tubuh lalat ini terutama pada kelenjar air liur, M.bovis dapat bertahan sampai 72 jam.
5.  Faktor Predisposisi
Pink eye merupakan penyakit multifaktor, artinya banyak faktor predisposisi yang berkontribusi terhadap munculnya penyakit ini. Beberapa faktor predisposisi penting yang perlu diperhatikan adalah infeksi Mycoplasmabovoculi dan atau infeksi IBR dimana virus IBR dapat menyebabkan kerusakan kornea dan jaringan konjungtiva sehinga memungkinkan terjadinya infeksi sekunder oleh M.bovis.Pink eye dapat terjadi dengan diawali oleh adanya iritasi pada mata yang disebabkan oleh kibasan ekor, gesekan rumput dan debu.
Sensitifi tasmata terhadap sinar ultraviolet meningkatkan peluang terjadinya pink eye dimana sapi yang mempunyai jumlah pigmen mata lebih sedikit sepertisapi Hereford, Holstein dan Shorthorn berpeluang besar terkena pink eye.Sedangkan sapi yang mempunyai jumlah pigmen mata lebih banyak sepertiAngus dan Brahman kurang begitu sensitif. Pink eye ini juga sering timbul tiba-tiba pada ternak yang sedangdalam keadaan lelah akibat mengalami perjalanan jauh. Perubahan cuacayang mendadak, terlalu padatnya ternak dalam kandang, kualitas pakanyang rendah juga dapat memicu terjadinya penyakit ini.
6.  Distribusi Penyakit
Penyakit ini ditemukan hampir di seluruh dunia. Penyebarannya di Indonesia cukup luas





·        Pengenalan Penyakit

1.  Gejala Klinis
Masa inkubasi biasanya 2-3 hari, tetapi dapat sampai 3 minggu. Gejala awal adalah mata lembab, adanya sedikit konstriksi pada pupil, serta photophobi atau sensitif terhadap cahaya sehingga matanya sering ditutup untuk menghindari cahaya. Dalam waktu singkat mulai keluar air mata dan terlihat adanya penyempitan pupil secara jelas serta kekeruhan padakornea. Lakrimasi menjadi lebih jelas dan timbul vesikel yang kemudian akan pecah dan menimbulkan luka/ulcer, kekeruhan dari kornea semakin berkembang dan bagian tengah menjadi menyeluruh pada hari ke 4 atau ke 5.
Pembesaran pembuluh darah tampak pada daerah perifer dari kornea pada hari ke 7 sampai hari ke 10. Pada saat radang akut sudah mereda, sekresi mata makin purulen. Setelah 10 sampai 15 hari, kornea mulai terlihat jernih yang dimulai dari daerah perifer ke bagian tengah. Kesembuhan total akan terjadi 25-50 hari. Kerusakan kornea dapat menjadi lebih parah sehingga mengakibatkan kebutaan. Infeksi pada mata dapat terjadi unilateral ataupun bilateral.


2.  Patologi
Mata terlihat mengalami konjunctivitis, kreatitis, serta kekeruhan kornea. Tindakan nekropsi tidak lazim dilakukan pada kasus pink eye.
3.  Diagnosa
Diagnosa didasarkan pada lesi dan gejala klinis. M.bovis dapatdideteksi dengan fluoresence antibody technique (FAT), kultur bakteri danidentifi kasi.
4.  Diagnosa banding
Konjungtivitis akibat trauma dibedakan dari pink eye bila ditemukan benda asing pada mata. Disamping itu jumlah kasus konjungtivitis akibat trauma lebih kecil dibandingkan dengan pink eye. Gejala konjungtivitis yang disebabkan oleh M.bovis sulit dibedakan dengan IBR dan Malignant Cathar Fever (MCF). Pada IBR ditemukan peradangan pada saluran pernafasan bagian atas, sedang pada MCF ditemukan kebengkakan kelenjar limfe, erosi pada cungur hidung, hematuria dan diare. Keratitis yang disebabkan oleh fotosensitisasi dan thelasiasis harus dibedakan dari pinkeye.

Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
Cotton swab steril yang telah dihilangkan asam lemaknya dipakai untuk mengambil spesimen dari konjungtiva. Dalam hal ini perlu 3 cotton swap dan 3 macam transport media, yaitu transport media untuk bakteri, virus dan rickettsia atau chlamydia. Spesimen dikirim ke laboratorium dalam termos berisi es.

·        Pengendalian

1.  Pengobatan
M.bovis peka terhadap penicillin, streptomycin, gentamycin, tetracyclin, cephalosporin, nitrofurans dan sulfonamides. Long acting oxytetracyclin efektif untuk mengobati anak sapi yang terinfeksi (deepmuscle parenteral). Penelitian terhadap efektifi tas pemberian antibiotiksecara topikal masih kurang, sampai saat ini diketahui bahwa preparat topikal tidak bisa bertahan lama pada mata karena adanya lakrimasi yang berlebihan sehingga dapat menurunkan efeknya.            Preparat topikal seperti furazolidone spray dapat mengurangi jumlah bakteri yang tinggal di daerah mata serta memperkecil ukuran ulcer. Pengobatan topikal yang lebih efektif yaitu pemberian Benzathine cloxacillin. Formula bentuk oil dari benzathine penicillin dapat mengurangi jumlah M. bovis dan meningkatkan penyembuhan ulcer pada mata.
2.  Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan
a.    Pencegahan
Pencegahan dilakukan dengan menjaga kebersihan kandang dan lingkungan, menjaga kualitas pakan, serta menjaga populasi kandang tidak terlalu padat. Tindakan pencegahan yang dianjurkan di negara-negara maju adalah pemeriksaan immunologis. Diketahui bahwa adanya Ig A aktif sangat penting untuk mencegah Infectious Bovine Keratokonjungtivitis (IBK).
b.   Pengendalian dan Pemberantasan
Untuk menghindari meluasnya penyakit, hewan yang terinfeksi segera diisolasi dan diobati. Pada kasus parah, hewan harus dihindarkan dari sinar matahari secara langsung. Sebagian besar vaksin yang ada saat ini belum menunjukkan hasil yang memuaskan.






DAFTAR PUSTAKA
Akoso, B. T. 1993. Manual Kesehatan Unggas. Panduan Bagi Petugas Teknis, Penyuluh dam Peternak. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Alexander,D.J. 1991. ND and Other Paramyxovirus Injection in Disease of Poultry, 9th ed. Edited by Calnek, B. J., dkk. Iowa State University Press, Armes, Iowa. USA.
Beard, C.W, and Hanson. 1984. Newcastle Disease in Disease of Poultry, 8th ed. Iowa State University Press, Armes Iowa. USA.
Direktur Kesehatan Hewan 2002. Manual Penyakit Hewan Mamalia. Direktorat
            Kesehatan Hewan, Direktorat Bina Produksi Peternakan, Departemen
            Pertanian RI, Jakarta Indonesia.
Fenner, Frank J., dkk.1995. Virologi Veteriner. Edisi kedua. Academic Press INC. California.
Jordan, F. T. W.1990. Poultry Diseases. Third Edition. Baillere Tindall. London.
Radostids OM and DC Blood 1989. Veterinary Medicine A Text Book of the
Disease of Cattle, Sheep, Pigs, Goats and Horses. 7th Edition. BailiereTindall. London England.

Subronto 2008. Ilmu Penyakit Ternak I-b (Mamalia) Penyakit Kulit
(Integumentum)Penyakit-penyakit Bakterial, Viral, Klamidial, dan Prion. Gadjah MadaUniversity Press. Yogyakarta Indonesia.
Tabbu, C. R. 2000. Penyakit Ayam dan Penanggulagannya. Volume I. Penerbit Kanisius. Yogyakarta

PRESERVASI DAGING "METODE-METODE PENGAWETAN DAGING" (TEKNOLOGI HASIL TERNAK)











KATA PENGANTAR


Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang mana atas berkah dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah ilmiah tentang “Preservasi Daging” ini sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.

Makalah ilmiah ini telah penulis susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dalam penyusunannya ataupun pemilihan tata bahasanya. Oleh karena itu penulis mengaharapkan segala saran dan kritik yang membangun dari pembaca agar penulis  dapat lebih baik dalam penyusunan makalah selanjutnya. Penulis berharap semoga makalah tentang “Preservasi Daging”ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.








DAFTAR ISI


Halaman
KATA PENGANTAR………………………………………………………               i
DAFTAR ISI………………………………………………………………...              ii
I.PENDAHULUAN…………………………………………………………             1
     1.1 Latar Belakang……………………………………………………….               1
     1.2 Tujuan…………………………………………………………………             2
II. ISI……………..………………………………………………………….              3
III. PENUTUP……………………..………………………………………….            9
DAFTAR PUSTAKA














I.PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang

Daging segar adalah otot skeletal (kerangka) karkas ternak yang belum diolah dan atau tidak ditambah dengan bahan apapun (SNI 3932, 2008). Penyediaan daging harus didahului dengan penyembelihan secara normatif yang berasal dari sapi, kerbau, kambing, domba, babi, unggas dan hewan lainnya (BINTORO, 2008). Daging yang dapat dikonsumsi umumnya berasal dari ternak yang sehat, saat penyembelihan dan pemasaran diawasi oleh petugas rumah potong hewan (RPH) serta terbebas dari pencemaran bakteri (USMIATI, 2010).
Daging (khususnya daging sapi) di Indonesia umumnya diproduksi oleh RPH, dan kemungkinannya mempunyai potensi untuk tercemar bakteri, sesaat setelah dipotong, dipasarkan, bahkan sampai di konsumen. Daging yang tercemar bakteri mudah mengalami kerusakan, karena mengandung nutrien yang dibutuhkan untuk pertumbuhan bakteri (GUSTIANI, 2009). Berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN) persyaratan mikrobiologis (bakteri) dalam daging sapi yang beredar di Indonesia adalah total plate count (TPC) 106 CFU/g, bakteri coliform 102 CFU/g, bakteri Staphylococcus aureus 102 CFU/g, bakteri Salmonella sp., negatif per 25 g dan bakteri Escherichia coli 10 CFU/g (SNI 3932, 2008). Apabila kandungan bakteri dalam daging melebihi standar yang telah ditentukan, maka daging tersebut dianggap tidak layak sebagai bahan pangan, karena kemungkinan menjadi mudah rusak. Kemungkinan pula dapat menimbulkan penyakit, apabila daging yang mengandung bakteri patogen diolah kurang sempurna dan selanjutnya dikonsumsi.
Salah satu penanganan setelah pemotongan ternak adalah penyimpanan suhu dingin. Dikatakan pula bahwa suhu dan lama penyimpanan mempengaruhi kualitas daging. Dewasa ini, untuk menghemat waktu, biaya, dan tenaga para ibu rumah tangga tidak lagi berbelanja rutin dengan frekuensi setiap hari. Hal ini menyebabkan, saat membeli daging terkadang mereka menyimpannya dan tidak segera mengolahnya. Menyimpan daging agar tahan lama tentu menjadi kebutuhan rumah tangga. Oleh karena itu untuk memperpanjang lama penyimpanan daging diperlukan suatu usaha pengawetan. Tujuan pengawetan adalah menghambat atau membatasi reaksi-reaksi enzimatis, kimiawi, dan kerusakan fisik dari daging (Soeparno, 2009).
                      
1.2 Tujuan

Adapun tujuan dari makalah ilmiah ini yaitu untuk
1.      Mengetahui bagaiamana cara pengawetan daging dengan berbagai macam pengawetan daging.












II. PEMBAHASAN


Preservasi berarti menghambat atau membatasi reaksi-reaksi enzimatis, kemis, dan kerusakan fisik daging dan daging proses. Metode yang banyak digunakan untuk memperpanjang masa simpan daging dan daging proses adalah dengan pendinginan atau yang lazim disebut refrigerasi pada temperatur antara −2oC sampai 5oC. Di samping itu daging dan daging proses dapat diawetkan dengan proses pembekuan, proses termal (pemanasan) dan dehidrasi (pengeringan). Preservasi daging juga dilakukan dengan cara iradiasi, pengepakan, dan perlakuan kimiawi, misalnya dengan cara curing dan pengasaman (Soeparno, 1994).
Preservasi bertujuan, antara lain untuk mengamankan daging dan produk daging proses dari kerusakan atau pembusukan oleh mikroorganisme dan untuk memperpanjang masa simpannya. Preservasi berarti menghambat atau membatasi reaksi-reaksi enzimatis, kimiawi dan kerusakan fisik daging dan daging proses. Salah satu tindakan preservasi yang biasa dilakukan adalah pembekuan (Soeparno, 1994)

Beberapa teknik pengawetan yang sering digunakan dan diharapkan akan meningkatkan mutu dalam keempukan dan citarasa :

1. Penggunaan suhu rendah
Dinegara-negara industri, hampir semua bahan makanan asal hewan seperti daging dan ikan disimpan dengan menggunakan teknik suhu rendah yakni pendinginan dan pembekuan. Penggunaan teknik pendinginan dimana suhu sedikit diatas 0°C, memungkinkan bahan makanan dapat disimpan selama beberapa hari sampai beberapa minggu tergantung jenis makanan, suhu dan teknik penyimpanan. Pada teknik pembekuan dimana suhu dibawah 0°C, umumnya sekitar – 18°C, bahan makanan/daging dapat disimpan selama beberapa bulan, malahan daging dapat disimpan sampai beberapa tahun pada suhu – 30°C.
Dinegara-negara yang teknologinya masih rendah seperti di Indonesia dan khususnya ditingkat pedesaan dimana pemakaian suhu rendah masih menjadi kendala maka penggunaan teknologi sederhana dengan memanfaatkan sumberdaya alam yang tersedia merupakan pilihan utama dalam penyimpanan bahan makanan asal ternak tersebut.

1.1. Pendinginan (refrigeration)   
Pendinginan memungkinkan untuk menyimpan daging dalam waktu tertentu berkat aksinya dalam menghambat perkembangan bakteri tanpa membunuh bakteri. Oleh karena itu sangat penting diperhatikan bahwa suhu dingin sebaiknya secepat mungkin dioperasikan setelah ternak dipotong dan agar daging/karkas sekurang mungkin dicemari/terkontaminasi oleh bakteri selama proses pemotongan. Ini dimaksudkan untuk mendapatkan daging dengan kualitas higienis yang baik. 

Pendinginan dimaksudkan pula untuk meningkatkan kualitas daging terutama keempukan dan citarasa yang terjadi selama proses penyimpanan karena adanya maturasi pada daging.
Seperti pula diketahui bahwa suhu karkas berkisar 35 – 37° C pada akhir proses pemotongan maka peranan pendinginan cukup penting didalam menurunkan suhu karkas tersebut agar dapat disimpan pada suhu sekitar 0 - +2° C. Pendinginan karkas dengan menggunakan suhu mendekati titik nol (0 – 5° C) pada suhu karkas masih tinggi , dimana pada saat itu karkas masih dalam kondisi pra rigor, dapat mengakibatkan kelainan mutu daging yang dikenal dengan nama cold shortening atau pengkerutan karena dingin. Pengkerutan akibat dingin menyebabkan otot memendek bisa mencapai 50 % dan daging menjadi keras dan kehilangan cukup cairan yang berarti selama pemasakan.

Pada tahap pertama, karkas didinginkan pada suhu dimana persentase pengkerutan paling minimal, berdasarkan penelitian Locker dan Hagyard (1963) untuk memperoleh pengekerutan minimal sebaiknya daging didinginkan pada suhu antara 14 – 19° C selama 24 jam pertama dimana pada saat tersebut rigor mortis telah terbentuk. Kecepatan terbentuknya rigor mortis sangat tergantung pada suhu dan kondisi ternak pada saat disembelih. Locker dan Daines (1975) memperlihatkan waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis pada otot Sternomandibularis pada suhu 37° C, 34° C, 24° C, dan 15° C,  masing-masing secara berurutan 7 jam, 10 jam, 12 jam, dan 24 jam. Rigor mortis dapat pula terbentuk dalam waktu yang cepat pada ternak-ternak yang telah kekurangan atau kehabisan glikogen akibat habis terkuras karena perlakuan-perlakuan yang keras sebelum pemotongan dilakukan.

Cold shortening yang terjadi karena pendinginan yang cepat dengan suhu sangat rendah pada karkas terutama pada potongan-potongan karkas dan daging mengakibatkan kealotan yang berarti.
Karkas yang telah mengalami rigor mortis, kemudian disimpan pada kamar pendingin (+ 2°  C) selama beberapa hari. Selama penyimpanan ini terjadi maturasi yakni proses transformasi kimia didalam otot dan memperlihatkan efek terhadap perbaikan keempukan daging secara progresif sampai tingkat optimal. Keadaan dimana daging menjadi matang, pada tingkat inilah daging sebaiknya dikonsumsi.

Untuk memperoleh tingkat maturasi yang baik, pada umumnya karkas sapi disimpan antara 10 – 15 hari pada suhu  + 2°  C sebelum daging tersebut di konsumsi. Untuk praktisnya, maturasi biasanya berlangsung selama 7 – 8 hari dengan alas an ekonomi. Hal mana tidaklah cukup dari segi teknisnya.  Gambar 2, memperlihatkan evolusi keempukan daging berdasarkan lama penyimpanan pada suhu mendekati 2 C°.

1.2. Pembekuan (Freezing)  
Pembekuan merupakan tahap selanjutnya dari penyimpanan daging setelah karkas melalui proses maturasi (aging) yang optimal dimana proses komplet rigor mortis telah terpenuhi. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah timbulnya cold shortening dan thaw rigor pada saat daging dicairkan dari kristal es yang meliputinya sebelum dimasak. 

Untuk pengawetan daging dengan menggunakan suhu sangat rendah, maka potongan – potongan karkas terlebih dahulu harus dikeluarkan tulang-tulangnya dan menghilangkan lemak dipermukaan karkas/daging, sehingga benar-benar daging yang dibekukan. Ini dimaksudkan selain untuk efisiensi tempat, juga dimaksudkan untuk menghindari peruabahan – perubahan yang dapat terjadi pada daging selama penyimpanan terutama lemak, pada suhu rendah masih dapat mengalami proses ketengikan.

Untuk mendapatkan hasil/kualitas yang baik selama pembekuan maka perlu diperhatikan hal-hal berikut :
- Penggunaan suhu pembekuan cepat (- 36° C) atau sangat cepat (- 40° C) pada karkas atau daging yang telah mengalami maturasi.
- Menyimpan daging beku pada suhu rendah (-18° C).
- Menghindari variasi suhu selama penyimpanan.
- Menghindari pembekuan atau thawing secara berturut-turut.
- Thawing dilakukan secara lambat pada suhu + 1° C.

·         Preservasi Kimia
Bahan kimia yang dipergunakan untuk preservasi daging mempumyai sifat antara lain :
1.        Menghambat atau mencegah perubahan kualitas daging selama penyimpanan
terbatas
2.    Memperpanjang masa simpan
3.    Sebagai bahan pengawet
4.    Menambah nilai gizi, aroma dan rasa
5.    Sebagai pewarna
6.    Pengatur kelembaban
7.    Pengatur pH
Suatu preservatif untuk memperpanjang masa simpan daging harus memenuhi criteria sebagai berikut :
1.    Tidak mengubah flavor, bau atau warna dan tekstur bahan makanan
2.  Aman bagi konsumen pada konsentrasi efektif sebagai preservatif atau aman
      
untuk dikonsumsi selama masa simpan tertentu
3.   Preservatif harus mudah dikenal dan kadarnya dapat dideteksi secara pasti, serta harus memenuhi kebutuhan yang diizinkan (legal)
4.    Kualitas bahan makanan harus tidak merugikan konsumen dan ekonomis
Berikut beberapa cara preservasi kimia pada daging, yaitu :
·         Pengasapan
Pengasapan adalah proses pengawetan daging dengan cara memberikan asap pada daging dalam suhu dan jangka waktu tertentu. Tujuan utama pengasapan adalah pengembangan citarasa, pengawetan, pengembangan warna, membuat atau menciptakan produk baru, dan melindungi dari oksidasi lemak.
Pengasapan dapat dikerjakan antara lain dengan metode pengasapan panas, pengasapan dingin, dapat juga dengan campuran dari kedua metode tersebut dan dengan metode elektrostatis smoking. Pengasapan dilakukan selama 4-8 jam di dalam almari pengasap. Metode konvensional yang bias dipakai untuk pengasapan daging yaitu pengasapan dalam ruang asap yang disebut smoke house. Daging digantung pada rak asap atau kayu dalam ruang asap dan daging tidak boleh saling bersentuhan.
Proses pengasapan mempunyai beberapa akibat antara lain pengaruh yang bersifat mengawetkan yang ditimbulkan oleh penyimpanan/penimbunan di permukaan daging senyawa kimia seperti formaldehyde, asetaldehide, aseton diasetil, methanol, etanol, asam-asam format dan asetat, furfural dehida, resin, bahan lilin, dan banyak senyawa lainya.
Pengawetan juga bisa disebabkan oleh pengeringan permukaan yang menguapkan kira-kira 3% dari kehilangan seluruh berat pada produk-produk yang diasap panas. Pengaruh bahan antioksidan juga dihasilkan oleh pemasukan senyawa-senyawa fenol ke dalam produk dan pada permukaan bahan yang diasap, bahan-bahan ini menyebabkan ketahanan simpanyang lebih lama, dan memberikan cita rasa yang khas pada produk-produk tradisional.
Komposisi asap dipengaruhi oleh berbagai factor, misalnya suhu pemanasan atau pembakaran yang digunakan, tipe alat pembuat asap, metode pembuatan asap, jenis kayu dan jenis asap. Lebih dari 200 macam komponen asap telah  diisolasi dari kayu. Komponen-komponen yang memegang peran penting dalam proses pengasapan adalah komponen karbonil, asam-asam organic, alcohol, beberapa gas (karbondioksida, karbonmonoksida, oksigen, nitrogen, nitrogenoksida), dan hidrokarbon, dan termasuk zat-zat senyawa turunan bebzen. Senyawa-senyawa turunan benzene lebih banyak bersifat toksit dan karsinogenik, dimana residunya dalam jangka waktu lama akan menyebabkan anemia dan leukemia. Batas penerimaan senyawa benzen dalam tubuh manusia tidak lebih dari 10 ppm.
Curing merupakan teknik pengawetan daging dengan menggunakan garam dalam konsentrasi tertentu. Seiring dengan berkembangnya rantai dingin, metode curing dinilai tidak efisien namun curing tetap dilakukan dengan tujuan membentuk sifat sensoris daging. Curing bertujuan untuk memperpanjang masa simpan daging,menghambat aktibitas mikrobia terutama Clostridium botulinum, memperbaiki flavor dan tujuan utamanya adalah memperbaiki warna daging menjadi merah pink. Penyebab warna merah karena bakteri mengubah nitrat menjadi nitrit, nitrit dipecah menjadi NO (nitroso) yang kemudian berekasi dengan pigmen daging (mioglobin) membentuk nitrosochemochromagen sehingga terbentuk warna merah menarik dan haemoglobin. Nitrit mampu memberikan flavor yang spesifik kemungkinan dikarenakan adanya reaksi antara nitrit dengan komponen volatile daging. Contoh produk olahan daging curing yang banyak di pasaran seperti adalah bacon (daging babi, sapi, kalkun), sosis (hotdog, franks, cocktaill), cornet dan dendeng (Rahmawati, 2011).























IV.KESIMPULAN

Preservasi berarti menghambat atau membatasi reaksi-reaksi enzimatis, kemis, dan kerusakan fisik daging dan daging proses. Metode yang banyak digunakan untuk memperpanjang masa simpan daging dan daging proses adalah dengan pendinginan atau yang lazim disebut refrigerasi pada temperatur antara −2oC sampai 5oC. Di samping itu daging dan daging proses dapat diawetkan dengan proses pembekuan, proses termal (pemanasan) dan dehidrasi (pengeringan). Preservasi daging juga dilakukan dengan cara iradiasi, pengepakan, dan perlakuan kimiawi, misalnya dengan cara curing dan pengasaman.

















DAFTAR PUSTAKA

Alwin,dkk.2014. LAMA PENYIMPANAN PADA SUHU DINGIN DAGING BROI LER YANG DIBERI AIR PERASAN JERUK KASTURI (Citrus madurensis Lour.). Jurnal zootek (“zootek journal”) Vol 34 No 2: 148 – 158

Heryadi.2013.PengawetanDaging.Http://heryahyadi.blogspot.co.id/2013/04/penyimpanan -dan-pengawetan-daging.html (Diakses Pada Minggu,07 Mei 2017 Pukul 18.00 WIB)

Irman.2011.Bentuk Pengawetan Daging. http://irmangasali.blogspot.co.id/2011/01 /pengawetan-daging.html (Diakses Pada Minggu,07 Mei 2017 Pukul 18.30 WIB)

Yuzni.2014.Pengertian Preservasi.http://yuzniemulyhana.blogspot.co.id/2014/06/ proses-penanganan-daging.html (Diakses Pada Minggu,07 Mei 2017 Pukul 19.00 WIB)